Sanatorium Dago ( PMI Jawa Barat ) Dago
Sanatorium Dago ( PMI Jawa Barat ) Dago
https://bandungbergerak.id/article/detail/899/ngulik-bandung-terlupakan-sanatorium-dago-heuvel-1
https://bandungbergerak.id/article/detail/899/ngulik-bandung-terlupakan-sanatorium-dago-heuvel-1
https://bandungbergerak.id/article/detail/970/ngulik-bandung-terlupakan-sanatorium-dago-heuvel-2
https://bandungbergerak.id/article/detail/970/ngulik-bandung-terlupakan-sanatorium-dago-heuvel-2
15 Juli 2021
BandungBergerak .id - Siapa yang tak kenal daerah Dago? Rasanya, hampir semua orang yang sering berkunjung ke Kota Bandung, tahu kawasan terkenal satu ini. Apalagi yang mengaku warga Bandung asli, agak keterlaluan rasanya bila tak tahu jalan yang membentang mulai perempatan Jalan Merdeka, lurus terus ke utara, sampai ke Taman Hutan Raya Djuanda ini.
Dago, yang kini terkenal sebagai kawasan wisata, dari wisata alam sampai wisata belanja ini, rupanya memang kawasan elite sejak zaman Hindia Belanda. Setidaknya, dimulai dari didirikannya rumah seorang juragan perkebunan kopi yang bernama Andre van Der Brun pada tahun 1905.
Kawasan yang awalnya disebut sebagai “pedalaman Bandung” ini merupakan Jalur perjalanan para petani yang bermaksud menjual hasil kebunnya ke kota. Dago, saat itu masih berupa hutan lebat, sarangnya perampok, dan habitat dari berbagai hewan liar semacam maung congkok alias kucing hutan, kera, dan juga hewan buas macam harimau. Karenanya, pemerintah Hindia Belanda baru mulai membangun jalan Dago atau Dagoweg sekitar tahun 1915.
Sejak dibangun jalan itulah, sekitar tahun 1920-1940, pemerintah Hindia Belanda bergiat melakukan pembangunan di wilayah yang kini menjadi kawasan elite kota yang memiliki julukan Parijs Van Java ini. Dari mulai didirikannya perumahan, sarana pendidikan, seperti Tecniche Hoogeschool te Bandoeng yang sekarang menjadi ITB, hingga tempat pelesir dan minum teh, Dago Thee Huis.
Tidak banyak orang tahu bahwa di kawasan elite dengan sekian banyak peninggalan masa kolonial ini, pernah terdapat sebuah sanatorium. Jangankan para pendatang, bahkan warga asli Bandung sendiri jarang mengetahuinya. Hal tersebut bisa jadi karena minimnya dokumen yang mencatat tentang keberadaan sanatorium di wilayah Dago Heuvel (Bukit Dago) tersebut, serta beralih fungsinya kompleks sanatorium menjadi sebuah kompleks perumahan.
Umumnya orang hanya tahu bahwa sanatorium di Bandung, yang didirikan di zaman Hindia Belanda, hanyalah sanatorium Tjipaganti, atau kemudian dikenal sebagai Sanatorium Solsana, yang merupakan cikal bakal Rumah Sakit Khusus Paru Dr. H. A. Rotinsulu di daerah Ciumbuleuit.

Indah dan Nyaman
Riwayat sanatorium Dago terlacak dalam berita sebuah harian yang terbit saat itu. Koran Het Niews Van Den Hag edisi Selasa, 22 Juli 1930 melaporkan bahwa ada sebuah rencana besar untuk mendirikan sebuah permukiman berkelas dengan rumah berarsitektur modern dan tahan terhadap cuaca dingin. Seiring dengan telah dibukanya jalan baru dari daerah Dago menuju kawasan Lembang, kawasan tersebut akan dilengkapi dengan area bermain, kawasan hutan pinus, kolam renang, dan lapangan tennis. Juga ada rencana akan didirikannya sebuah sanatorium sekaligus rumah peristirahatan mewah, dengan fasilitas lengkap yang di inisiasi oleh Ny. dr. Schelts van Kloosterhuis-Houtman.
Selain kabar mengenai rencana kawasan Dago Heuvel atau Bukit Dago tersebut akan dijadikan permukiman, dua buah artikel lain yang termuat di dua surat kabar berbeda sebulan kemudian mengonfirmasi dengan jelas tentang rencana pembangunan sanatorium itu secara khusus. De Nieuwe Vorstealanden edisi Senin, 4 Agustus 1930, mengabarkan bahwa rencana pembangunan Sanatorium di kawasan Dago Heuvel sempat ditunda untuk dilaksanakan karena pihak pengembang, dalam hal ini Ny. dr. Schelts van Kloosterhuis-Houtman beserta sejawat-sejawatnya, ingin membangun sebuah sanatorium yang jauh lebih besar, dengan fasilitas yang modern dan jauh lebih lengkap. Harian lain, De Indische Courant, pada tanggal yang sama, 4 Agustus 1930 menguatkan berita tersebut.
Kompleks sanatorium Dago, tidak bisa dibayangkan sebagai tempat perawatan orang sakit seperti biasa. Alih-alih seperti bangunan rumah sakit pada umumnya, yang merupakan selasar panjang di mana di kiri kanannya terbentang kamar-kamar perawatan, kompleks sanatorium ini berupa sebuah lahan sangat luas yang di atasnya didirikan rumah-rumah indah nan nyaman di zamannya, berarsitektur gothic dan art-deco seperti karakteristik rumah-rumah Belanda lainnya di kawasan Dago. Salah satu rumah yang mencirikan arsitektur yang hampir sezaman dengan kompleks sanatorium tersebut adalah, rumah peristirahatan pertama di daerah Dago milik Andre Van Der Brun, seorang pemilik perkebunan kopi, yang dulu letaknya tepat di sebelah Hotel Jayakarta, Dago Atas.
Bisa dibayangkan, betapa cantiknya kompleks sanatorium tersebut. Sanatorium yang dirancang pada awalnya sebagai tempat perawatan bagi orang-orang yang bermasalah dengan syarafnya, sekaligus sebagai tempat peristirahatan mewah bagi kalangan berduit kala itu. Rumah-rumah beratap tinggi dengan sebagian dinding yang dilapisi kayu, dan perapian di dalamnya khusus dirancang untuk menahan hawa dingin yang menusuk di kawasan Dago kala itu. Jarak yang cukup jauh antara satu rumah dengan rumah lainnya, menjadikan halaman-halaman yang luas di setiap rumah itu sedemikian indahnya dengan banyak tanaman bunga beraneka warna dan dikelilingi oleh pohon-pohon pinus yang berjajar rapi. Segala keindahan itu sesuai fungsi sanatorium, yakni membuat pasien yang tinggal di sana merasakan kenyamanan dan bahagia, sebagai upaya untuk mempercepat kesembuhan mereka.
Gambaran tentang kondisi kompleks sanatorium Dago terkonfirmasi dalam sebuah laporan harian Het Niews Van Den Hag, Rabu, 6 Januari 1932 yang mengabarkan bahwa Ny. dr. Schelts van Kloosterhuis-Houtman telah mendirikan sebuah sanatorium di kawasan Dago Heuvel, dengan 11 bangunan milik Ny. dr. Schelts Van Kloostehuis-Houtman pribadi. Sebuah kompleks sanatorium yang dilengkapi dengan lapangan tenis, kolam renang, kawasan hutan pinus untuk para penderita penyakit syaraf yang harus mendapatkan terapi fisik secara khusus. Berita dari harian ini pun sekaligus mengonfirmasi, terdapat jeda dua tahun dari mulai direncanakan pada tahun 1930 hingga berdiri di tahun 1932.
Masih jelas terekam dalam ingatan saat Penulis masih tinggal bersama dengan orang tua, menempati salah satu rumah di bekas kompleks sanatorium tersebut. Sebuah rumah peninggalan Belanda dengan halaman yang luas, sesuai dengan apa yang digambarkan dalam berita tahun 1932 itu, dengan jarak ke rumah tetangga lumayan jauh. Sebuah rumah tua nan kokoh peninggalan Belanda, dengan dinding luar berlapis kayu yang ditata sedemikian rupa. Dengan atap menjulang, khas bangunan dengan arsitektur gothic.
Sebuah kawasan dengan pohon-pohon pinus pun masih ada saat Penulis tinggal di sana sampai akhir tahun 2000. Sebuah kompleks yang dijadikan sebagai perumahan bagi karyawan Palang Merah Indonesaia (PMI) Kota Bandung sampai dengan tahun 2006.
“Katanya (kompleks ini) mau dibuat resort, lalu ganti katanya mau dibuat rumah sakit, tapi sampai sekarang masih belum dibangun. Daripada kosong, saya garap, lumayan buat tambah-tambah (penghasilan),” ujar Edi (45).
Edi adalah petani penggarap yang masih menempati sebuah rumah di atas tanah yang masih termasuk bagian kompleks bekas sanatorium ini. Dia memanfaatkan tanah kosong ini untuk ditanami singkong.

Nama-nama Bangunan
Sanatorium di Bukit Dago memang sangat erat kaitannya dengan PMI Kota Bandung. H. Suganda Permana (75), seorang pensiunan Humas PMI Kota Bandung, menuturkan bahwa kompleks bekas sanatorium ini mulai resmi digunakan sebagai kompleks perumahan karyawan PMI Kota Bandung sejak tahun 1964. Jumlah bangunan di kompleks sanatorium itu saat diterima PMI lebih dari 11 unit.
“Ada sekitar 12 bangunan yang siap huni, 2 bangunan sudah dihuni terlebih dahulu, namun sejak kapan tahun pastinya saya tidak terlalu ingat. Yang jelas tidak lama setelah Agressi Militer kedua tahun 1949, seluruh tanah dan bangunan, yang dulu dikuasai oleh NERKAI (Netherlands rode Kruis Afdeling Indie) diserahkan kepada PMI,” katanya.
Suganda menjelaskan bahwa seluruh bangunan di kompleks sanatorium tersebut memiliki namanya masing-masing, diambil dari nama-nama kota di Jawa Barat. Sangat khas kala itu. Bangunan diberi ‘nama’, alih-alih penomoran seperti zaman sekarang.
Ada pun nama-nama rumah tersebut antara lain Banjarnegara, sebuah rumah yang terletak di bagian paling atas kompleks sanatorium, dekat dengan Dago Thee Huis atau Dago Tea House. Bangunan tersebut saat ini telah beralih fungsi menjadi Pom Bensin di Jalan Dago.
Ada juga Boeah Dua, sebuah bangunan yang pernah difungsikan sebagai hotel yang menjadi salah satu bentuk usaha PMI Kota Bandung.
Kemudian ada Soekanagara yang meliputi tiga bangunan. Salah satu bangunan Soekanagara merupakan rumah dengan atap menjulang khas bangunan dengan arsitektur gothic. Bangunan kedua berada di bagian depan jalan Dago yang kini masih berdiri dan dialihfungsikan sebagai rumah makan. Di sebelahnya, ada bangunan ketiga yang kini telah direstorasi menjadi bangunan yang sekarang digunakan sebagai markas PMI Jawa Barat.
Selanjutnya ada Karang Noenggal, Lebak Sioeh, Gedoeng Soebang, serta Wanayasa. Keempatnya merupakan bangunan dengan arsitektur gothic. Gedoeng Soebang merupakan bangunan yang pernah ditempati oleh orangtua Penulis.
Ada pula Tjisajong, sebuah bangunan cantik dengan arsitektur Art Deco. Tjisajong memiliki bentuk bangunan yang unik dengan tampak depan mirip seperti lokomotif.
Di antara bangunan-bangunan di kompleks sanatorium tersebut terdapat sebuah bangunan yang tidak memiliki nama dan dulu sempat dipergunakan sebagai laboratorium. Dan yang paling besar dari diantara semua bangunan di sanatorium tersebut bernama Panoembangan. Saking besarnya bangunan ini sering digunakan sebagai aula. Di bagian belakang bangunan Panoembangan tersebut dijadikan tiga rumah yang dihuni oleh tiga keluarga karyawan PMI Kota Bandung. Blok bangunan Panoembangan inilah yang sampai terakhir penggunaannya masih dikelilingi oleh tanaman pinus.
Sangat sulit membayangkan sebuah kompleks nan asri dengan suasana yang sejuk karena dikelilingi oleh rindangnya pepohonan tersebut kini telah rata dengan tanah. Rumah-rumah yang dibangun pada era kolonial itu kini telah lenyap. Di antara fondasi sisa bangunan-bangunan kompleks sanatorium tersebut, berdiri batang-batang pohon singkong yang tumbuh dengan subur sebagai penggantinya.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman
22 Juli 2021
BandungBergerak.id - Hamparan rumput gajah menutup puing-puing sisa bangunan di lahan kosong yang kini telah tertutup oleh seng, tepat di belakang kantor PMI Jawa Barat di daerah Dago atas. Masih terlihat bekas fondasi yang membentuk petak-petak kamar, bekas rumah penulis, yang di zaman Belanda merupakan bagian dari kompleks sanatorium.
Sangat sulit dibayangkan, sebuah kompleks nan asri dengan suasana yang sejuk, karena dikelilingi oleh rindangnya pepohonan, kini telah rata dengan tanah. Rumah-rumah yang dibangun pada era kolonial telah lenyap. Hanya batang-batang pohon singkong yang tumbuh dengan subur sebagai penggantinya.
Masih jelas terekam dalam ingatan, saat penulis masih tinggal bersama orangtua, menempati salah satu rumah di bekas kompleks sanatorium tersebut. Sebuah rumah peninggalan kolonial yang memiliki atap yang tinggi, dengan kayu-kayu yang disusun sedemikian rupa menutupi tembok di baliknya. Sebuah rumah yang dirancang agar tahan terhadap udara dingin, dengan halaman luas tanpa pagar antara satu rumah dengan rumah lainnya.
Siapa menyangka, kompleks yang asri tersebut di awal pendiriannya difungsikan sebagai sanatorium. Sebuah tempat perawatan syaraf dan tempat peristirahatan yang dirancang sebagai salah satu fasilitas pelengkap sebuah permukiman kelas atas di daerah Dago Heuvel.
Rencana pembangunan tersebut diberitakan dalam harian De Nieuwe Vorstealanden, Senin, 4 Agustus 1930 dan diperkuat oleh harian De Indische Courant, pada tanggal yang sama. Kedua harian tersebut mengabarkan bahwa Ny. dr. Scheltz van Kloosterhuis-Houtman, seorang dokter syaraf dan psikolog, berniat untuk berkontribusi pada rencana pembangunan kompleks permukiman elite tersebut dengan mendirikan sebuah sanatorium.
Sempat tertunda, pembangunan akhirnya terealisasi pada tahun 1932. Harian Het Niews Van Den Hag edisi Rabu, 6 Januari 1932 memberitakan bahwa Ny. dr. Schelts Van Kloosterhuis-Houtman telah mendirikan sebuah sanatorium di kawasan Dago Heuvel, dengan sebelas bangunan miliknya pribadi. Sebuah kompleks sanatorium yang dilengkapi dengan lapangan tenis, kolam renang, serta kawasan hutan pinus untuk para penderita penyakit syaraf yang harus mendapatkan terapi fisik secara khusus.
Sanatorium yang awal pendiriannya menjadi pelengkap fasilitas perumahan di kawasan Dago Atas, atau Dago Heuvel tersebut, dalam perjalanannya terus mengalami perubahan pengelolaan sampai akhirnya berubah fungsi menjadi kompleks perumahan karyawan Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Bandung sejak tahun 1964.
Baca Juga:NGULIK BANDUNG: Terlupakan, Sanatorium Dago Heuvel (1)
Mulai Dikelola oleh PMI Kota Bandung
H. Suganda Permana, 75 tahun, seorang pensiunan humas PMI Cabang Kota Bandung, mengatakan, tidak lama setelah Agresi Militer kedua tahun 1949, seluruh tanah dan bangunan yang dulu dikuasai oleh NERKAI (Netherlands rode Kruis Afdeling Indie) diserahkan kepada PMI. Ia menyebut ada 12 bangunan siap huni dan dua bangunan yang sudah berpenghuni ketika itu. Gambaran ini sesuai dengan artikel berita yang menginformasikan bahwa Ny. dr. Schelts van Kloosterhuis-Houtman membangun 11 unit rumah dan merencanakan adanya penambahan di kemudian hari.
Bagaimana ceritanya pengelolaan sanatorium tersebut sampai jatuh ke tangan PMI Cabang Kota Bandung, tidak ada literatur yang secara khusus menjelaskannya. Namun dalam kondisi politik yang terus berubah pascaproklamasi kemerdekaan, sangat masuk akal jika sanatorium yang awal pendiriannya diperuntukkan masyarakat umum itu pun pada akhirnya berubah fungsi menjadi sanatorium militer.
Informasi ini terkonfirmasi dari sebuah artikel sebuah surat kabar yang beredar saat itu. AID De Preangerbode edisi Selasa, 10 Juli 1951 melaporkan bahwa Presiden Sukarno melakukan kunjungan ke barak-barak militer di Cimahi sekaligus melakukan kunjungan ke rumah-rumah sakit yang memberikan pelayanan bagi para tentara yang sakit dan terluka akibat peperangan. Sanatorium militer di kawasan Dago atas termasuk lokasi yang didatangi Sukarno beserta rombongan yang di antaranya terdiri dari Menteri Monotutu, Gubernur Sanusi, dan Kolonel Sadikin.
Sepanjang bulan Oktober 1945, dua bulan setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, di Kota Bandung masih sering terjadi bentrokan antara para pemuda yang tergabung dalam satuan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) melawan Belanda dan sekutu-sekutunya. Banyak korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Saat itu Palang Merah Indonesia (PMI) masih belum mengonsolidasikan diri. Markasnya pun masih sering berpindah-pindah karena masih belum ada penyerahan bangunan dari pihak NERKAI (Nederlandsch Rode Kruis Afdeling Indie).
Dalam aturan internasional, Palang Merah hanya boleh ada satu di setiap negara yang berdaulat. Maka, para relawan yang merupakan cikal-bakal anggota PMI Cabang Kota Bandung bergerak untuk terus melakukan pertolongan di mana pun. Termasuk membantu rumah-rumah sakit dan sanatorium yang ketika itu banyak merawat masyarakat umum dan tentara yang terluka akibat peperangan.
Saat situasi politik di Bandung mulai mendingin, secara resmi NERKAI (Netherlands Rode Kruis Indie) mundur dari Republik Indonesia. Palang Merah Indonesia diakui secara internasional. Pembenahan dimulai. Pada tanggal 26 Januari 1950 dibentuklah kepengurusan PMI Kota Bandung yang diketuai oleh dr. Djunjunan Setiakusumah. Kiprahnya yang sangat luar biasa bagi bangsa membuat nama dokter ini diabadikan sebagai nama salah satu nama jalan di Kota Bandung.
Rencana Perluasan
Setelah PMI mengambil alih secara penuh pengelolaan sanatorium Dago Heuvel dari NERKAI, Djunjunan merencanakan pengembangannya. Sanatorium yang awalnya hanya dikhususkan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada tentara yang sakit dan terluka dalam peperangan, diupayakan dapat diperluas.
PMI merencanakan pembelian sebidang tanah bagi pembangunan sebuah bangsal yang mampu memuat 100 tempat tidur tambahan, di mana 60 tempat tidur akan didedikasikan bagi masyarakat sipil secara gratis. Saat itu kondisi Bandung sedang dalam situasi memprihatinkan akibat serangan penyakit TBC. Rencana PMI ini diberitakan oleh berbagai surat kabar, salah satunya harian AID De Preangerbode edisi Selasa, 29 Januari 1952.
Pada bulan Maret 1952, dalam pidatonya di acara Bulan Dana PMI, Walikota Bandung R. Enoch mengimbau masyarakat borjuis Bandung kala itu untuk bekerja sama dan memberikan dukungan penuh kepada rencana PMI Kota Bandung untuk membantu perluasan sanatorium Dago dan tempat perawatan khusus bagi orang tua. Rencana perluasan ini bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan dana dan pengorbanan yang besar, namun masyarakat berduit Bandung kala itu rela bergotong-royong untuk mewujudkannya.
Maka setahun setelah direncanakan, pada tanggal 17 September 1953, bertepatan dengan ulang tahun PMI ke-18, perluasan Sanatorium Dago dimulai. Dibangun asrama untuk staf perawat dan ruang operasi, yang peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Ibu Sanusi Hardjadinata, istri Gubernur Jawa Barat kala itu. Setahun kemudian, sebagaimana dilansir oleh harian Java Bode edisi Senin, 20 September 1954, kedua fasilitas baru itu mulai digunakan.

Menjadi Kompleks Perumahan Karyawan
Menurut kesaksian H. Suganda Permana, kondisi Kota Bandung pascawabah penyakit TBC di Bandung berangsur membaik. Tentara yang sakit dan telah direhabilitasi pun kembali ke rumah masing-masing. Beberapa rumah sakit lain pun sudah mulai berfungsi dengan baik sejak pengelolaannya dikembalikan kepada Indonesia. Akses warga untuk mendapat perawatan kesehatan terbuka semakin luas.
Namun, kemajuan layanan kesehatan ini juga berimbas pada jumlah pasien sanatorium Dago yang terus turun. Akhirnya, setelah sekitar 15 tahun mengabdikan diri kepada masyarakat, sanatorium menghentikan layanannya. Sebagian gedung mulai kosong. Beberapa orang yang masih membaktikan diri, bertahan tinggal di sana.
Ketua PMI Kota Bandung Djunjunan Setiakusumah berpikir, bila tidak segera diisi, kompleks sanatorium tersebut bisa berpindah tangan kepada orang lain karena legalitas yang masih belum terurus dengan baik. Dia lalu menawarkan bangunan-bangunan kosong itu agar ditempati oleh karyawan PMI Cabang Bandung yang jumlahnya terus membesar. Demikianlah sejak tahun 1964, bekas kompleks sanatorium itu pun berubah fungsi menjadi kompleks perumahan karyawan PMI Cabang Bandung sampai dengan tahun 2006.
Sayangnya, kompleks yang menyimpan sejarah panjang tentang riwayat sebuah sanatorium peninggalan Hindia Belanda, yang memiliki hubungan erat dengan kiprah sebuah organisasi kemanusiaan yang banyak mengambil peran penting dalam sejarah perjuangan bangsa, harus mengalah pada tuntutan zaman.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman
Komentar
Posting Komentar